Kamis, 19 November 2009

Investasi dengan tarif pajak yang rendah

Ada berbagai jenis pajak yang terkait investasi portofolio, khususnya pajak penghasilan. Ada instrumen investasi yang bebas pajak, ada yang terkena tarif final terhadap keseluruhan transaksi, ada yang dikenakan tarif final terhadap penghasilan, ada juga pengenaan pajak yang tertunda. Terakhir, saya akan sampaikan jenis portofio yang terkena pajak dengan tarif umum.

Pertama, yang bebas pajak. Salah satunya adalahreksadana pendapatan tetap. Berdasarkan Undang-undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 4 ayat 3 huruf j, bunga obligasi yang diperoleh reksa dana bukan objek pajak selama lima tahun. Artinya, sama dengan tidak kena pajak.

Sehingga, hasil keuntungan dari penjualan kembali reksa dana pendapatan tetap berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) tidak dikenakan pajak. Sayangnya, pemerintah mengusulkan untuk mencabut pembebasan ini. Tetapi paling tidak, selama 2006 ketentuan itu masih berlaku. Kita tidak tahu bagaimana tahun 2007. apakah DPR menyetujui pencabutan itu atau mempertahankan pasal ini agar tetap ada.

Selanjutnya, asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna dan beasiswa. Dasarnya adalah Pasal 4 ayat 33 UU PPh yang menyatakan pembayaran asuransi bukan objek pajak. Teori umumnya seperti ini, kalau kita masukkan premi asuransi Rp 100, nanti kita akan dapat kembali Rp 150,-. Mestinya secara umum, Rp 50 adalah objek pajak dengan tarif gradual maksimum 30%. Khusus untuk asuransi-asuransi yang sebut tadi, dibebaskan. Tujuannya untuk menghidupkan asuransi.

Kedua, yang terkena tarif final terhadap seluruh transaksi. Contohnya, saham perusahaan publik dan reksa dana saham. Dasar hukumnya adalah PP No. 14/1997, yang menyebutkan, besarnya pajak penghasilan (PPh) adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi saham. Dan selanjutnya, hasil keuntungan dan penjualan kembali reksa dana saham berbentuk KIK tidak dikenakan oajak (SE no. 18/1999).

Firma atau partnership, kalau membagi laba bebas pajak. Misalnya Firma Hukum ABC & D, perusahaan berbentuk partnership yang terdiri dari lima orang. Perusahaan sendiri, kalau laba dan selama 10 tahun mendapat laba, membayar pajak 30%. Sisanya yang 70% dibagikan kepada para partners dan dibebaskan dari pajak.

Kalau bentuknya perseroan terbatas (PT), maka PT akan kena pajak 30%, dibagikan ke pemegang saham sebanyak 70% dalam bentuk dividen, kena pajak 35% lagi. Jika kita berinvestasi dalam saham di bursa saham , bayar pajak hanya 0,1%, untuk transaksi jual beli saham ( termasuk gain dari saham ) . Ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan memperoleh deviden dari PT.

Contoh lain yang terkena tarif final terhadap seluruh transaksi adalah tanah dan bangunan. Kalau kita investasi atau memberli properti, aturan umumnya, kita beli misalnya dengnan harga RP 100.000.000,-. Lalu kita jual Rp 150.000.000,- sehingga ada untung Rp 50.000.000,-. . Dengan aturan PP 79/1999 dikenakan pajak sebesar 5% dari keseluruhan transasksi yaitu Rp 7.500.000,-. Jadi walaupun kita memperoleh keuntungan sebesar Rp. 50.000.000,- , atas keuntngan kita tidak dikenakan tarif pajak normal yang dapat mencapai 35 % atau sebesar Rp. 17.500.000,- sehingga tetap lebih hemat.

Ketiga, yang terkena tarif final terhadap penghasilan. Contoh, time deposit dan jenis tabungan lain, serta diskonto SB, terkena tarif final 20%.. Contoh yang lain adalah penyewaan tanah dan bangunan, terkena tarif final 10%. Sebetulnya, tarif final 10% ini merupakan salah satu sistem untuk menyederhanakan pemungutan pajak.

Keempat, penundaan pengenaan pajak. Ini yang kalau Anda seringa membaca Literatur-literatur asing, disebut tax shelter. Contoh adalah dana pensiun, di mana iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan menteri keuangan, tidak termasuk objek pajak. Jadi, dana pensiunnya sendiri kalau mendapat pajak, belum dianggap sebagai penghasilan. Nanti pada waktu nasabah menerima pensiun, ia terkena tarif umum.

Untungnya di sini, waktu kita terima gaji, kita boleh mengurangkan premi-premi ke dana pensiun itu artinya, pada waktu terima gaji kita tidak perlu bayar pajak. Kita taruh di dana pensiun dikembangkan dan berkembang baik sehingga pada waktu pensiun kita terima kelebihannya. Di samping itu ada time value of money selama jangka waktu kita bekerja.

Kelima dan terakhir, yang terkena tarif umum yang diatur secara khusus. Contohnya, dividen dalam negeri yang kita bayar secara penuh. Walauoun, hanya dipotong dulu 15%, dan nanti kalau kita masukkan SPT (Surat Pemberithauan Pajak ) harus dibayar penuh.

www.pajakpribadi.com

Investasi dengan tarif pajak yang rendah

Ada berbagai jenis pajak yang terkait investasi portofolio, khususnya pajak penghasilan. Ada instrumen investasi yang bebas pajak, ada yang terkena tarif final terhadap keseluruhan transaksi, ada yang dikenakan tarif final terhadap penghasilan, ada juga pengenaan pajak yang tertunda. Terakhir, saya akan sampaikan jenis portofio yang terkena pajak dengan tarif umum.

Pertama, yang bebas pajak. Salah satunya adalah reksadana pendapatan tetap. Berdasarkan Undang-undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 4 ayat 3 huruf j, bunga obligasi yang diperoleh reksa dana bukan objek pajak selama lima tahun. Artinya, sama dengan tidak kena pajak.

Sehingga, hasil keuntungan dari penjualan kembali reksa dana pendapatan tetap berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) tidak dikenakan pajak. Sayangnya, pemerintah mengusulkan untuk mencabut pembebasan ini. Tetapi paling tidak, selama 2006 ketentuan itu masih berlaku. Kita tidak tahu bagaimana tahun 2007. apakah DPR menyetujui pencabutan itu atau mempertahankan pasal ini agar tetap ada.

Selanjutnya, asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna dan beasiswa. Dasarnya adalah Pasal 4 ayat 33 UU PPh yang menyatakan pembayaran asuransi bukan objek pajak. Teori umumnya seperti ini, kalau kita masukkan premi asuransi Rp 100, nanti kita akan dapat kembali Rp 150,-. Mestinya secara umum, Rp 50 adalah objek pajak dengan tarif gradual maksimum 30%. Khusus untuk asuransi-asuransi yang sebut tadi, dibebaskan. Tujuannya untuk menghidupkan asuransi.

Kedua, yang terkena tarif final terhadap seluruh transaksi. Contohnya, saham perusahaan publik dan reksa dana saham. Dasar hukumnya adalah PP No. 14/1997, yang menyebutkan, besarnya pajak penghasilan (PPh) adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi saham. Dan selanjutnya, hasil keuntungan dan penjualan kembali reksa dana saham berbentuk KIK tidak dikenakan oajak (SE no. 18/1999).

Firma atau partnership, kalau membagi laba bebas pajak. Misalnya Firma Hukum ABC & D, perusahaan berbentuk partnership yang terdiri dari lima orang. Perusahaan sendiri, kalau laba dan selama 10 tahun mendapat laba, membayar pajak 30%. Sisanya yang 70% dibagikan kepada para partners dan dibebaskan dari pajak.

Kalau bentuknya perseroan terbatas (PT), maka PT akan kena pajak 30%, dibagikan ke pemegang saham sebanyak 70% dalam bentuk dividen, kena pajak 35% lagi. Jika kita berinvestasi dalam saham di bursa saham , bayar pajak hanya 0,1%, untuk transaksi jual beli saham ( termasuk gain dari saham ) . Ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan memperoleh deviden dari PT.

Contoh lain yang terkena tarif final terhadap seluruh transaksi adalah tanah dan bangunan. Kalau kita investasi atau memberli properti, aturan umumnya, kita beli misalnya dengnan harga RP 100.000.000,-. Lalu kita jual Rp 150.000.000,- sehingga ada untung Rp 50.000.000,-. . Dengan aturan PP 79/1999 dikenakan pajak sebesar 5% dari keseluruhan transasksi yaitu Rp 7.500.000,-. Jadi walaupun kita memperoleh keuntungan sebesar Rp. 50.000.000,- , atas keuntngan kita tidak dikenakan tarif pajak normal yang dapat mencapai 35 % atau sebesar Rp. 17.500.000,- sehingga tetap lebih hemat.

Ketiga, yang terkena tarif final terhadap penghasilan. Contoh, time deposit dan jenis tabungan lain, serta diskonto SB, terkena tarif final 20%.. Contoh yang lain adalah penyewaan tanah dan bangunan, terkena tarif final 10%. Sebetulnya, tarif final 10% ini merupakan salah satu sistem untuk menyederhanakan pemungutan pajak.

Keempat, penundaan pengenaan pajak. Ini yang kalau Anda seringa membaca Literatur-literatur asing, disebut tax shelter. Contoh adalah dana pensiun, di mana iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan menteri keuangan, tidak termasuk objek pajak. Jadi, dana pensiunnya sendiri kalau mendapat pajak, belum dianggap sebagai penghasilan. Nanti pada waktu nasabah menerima pensiun, ia terkena tarif umum.

Untungnya di sini, waktu kita terima gaji, kita boleh mengurangkan premi-premi ke dana pensiun itu artinya, pada waktu terima gaji kita tidak perlu bayar pajak. Kita taruh di dana pensiun dikembangkan dan berkembang baik sehingga pada waktu pensiun kita terima kelebihannya. Di samping itu ada time value of money selama jangka waktu kita bekerja.

Kelima dan terakhir, yang terkena tarif umum yang diatur secara khusus. Contohnya, dividen dalam negeri yang kita bayar secara penuh. Walauoun, hanya dipotong dulu 15%, dan nanti kalau kita masukkan SPT (Surat Pemberithauan Pajak ) harus dibayar penuh.



www.pajakpribadi.com


Selasa, 17 November 2009

Jumat, 13 November 2009

Pajak Penghasilan atas Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek (Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1997 jo Keputusan Menteri Keuangan No. 282/KMK.04/19

Objek Pemotongan

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.

Tarif Pemotongan

Atas penghasilan yang diterima atua diperoleh dari transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan pajak bersifat final. Adapun tarif pemotongannya adalah sebagai berikut :

-0.1% (nol koma satu persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.

-Bagi pemilik saham pendiri dikenakan sebesar :

-0.1% x Nilai transaksi + 0.5% dari nilai sahampada 30 December 1996, dalam hal saham tersebut telah diperdagangkan dibursa efek sebelum 31 December 1996.

-0.1% x Nilai transaksi + 0.5% dari nilai saham pada saat IPO, dalam hal saham tersebut diperdagangkan dibursa efek pada atau setelah 1 January 1996.

Pendiri adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercatat dalamdaftar pemegang saham atau tercantum dalam anggaran dasar sebelum pernyataan pendaftaran yang diajukan pada BAPEPAM dalam rangka penawaran umum perdana.

Saham Pendiri adalah saham yang dimiliki oleh para pendiri pada saat perusahaan mengajukan peryataan pendaftaran kepada BAPEPAM dalam rangka IPO termasuk :

- Saham dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan dan dibagikan setelah IPO kepada pendiri.

- Saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri yang masih dimiliki pendiri.

Tidak termasuk dalam saham pendiri adalah saham yang diperoleh pendiri dari :

-Pembagian dividen dalam bentuk saham setelah IPO.

-Pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu, warrant, obligasi konversi dan efek konversi lainnya setelah IPO.

-Perusahaan reksadana.

-Berupa saham bonus dari kapitalisasi agio setelah IPO yang telah dilunasi tambahan PPh sebesar 0.5% atas saham pendirinya oleh pemegang saham pendiri.

Penyetoran Pajak penghasilan yang terhutang selambat-lambatnya 1 bulan setelah saham diperdagangkan di bursa efek.

JIka pengenaan tambahan PPh sebesar 0,5% tersebut tidak disetor sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, maka atas penghasilan berupa capital gain dari penjualan saham pendiri tersebut dikenakan PPh dengan tarif umum Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (tidak final). Dalam hal ini wajib pajak juga diperkenankan memilih menghitung PPh atas penjualan saham pendiri dengan tarif pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dikalikan dengan capital gainnya.

Penyetoran tambahan PPh 0,5% atas saham pendiri tersebut harus dilakukan oleh emiten dengan menggunakan satu SSP final untuk penyetoran tambahan seluruh saham pendiri. SSP tersebut diisi dengan NPWP Emiten.

Pelaporan ke KPP atas penyetoran tambahan PPh 0,5% atas saham pendiri dilakukan oleh emiten, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan penyetoran, laporan tersebut setidaknya memuat nama dan NPWP pemilik saham pendiri, nilai saham, PPh terutang dan tanggal penyetoran pajak dengan dilampiri SSP lembar ke-3

Emiten juga harus melaporkan penyetoran tambahan PPh 0,5% tersebut kepada penyelenggara bursa efek, agar untuk selanjutnya atas penjualan saham pendiri tersebut hanya dikenakan PPh sebesar 0,1%.

Penyelenggara bursa efek wajib :
Memotong PPh yang terutang melalui perantara perdagangan efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham = 0,1% x harga jual.

Menyetor PPh ke bank persepsi atau Kantor Pos selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah transaksi penjualan saham.

Melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh ke KPP setempat selambat-lambatnya tanggal 25 bulan yang sama dengan bulan penyetoran.

Lihat PP NOMOR 41 TAHUN 1994 dan PP NOMOR 14 TAHUN 1997


PPh atas transaksi Derivatif dan Saham di bursa efek

PPh atas transaksi derivatif adalah 2,% dari investasi awal, sedangkan PPh atas transaksi saham adalah 0,1%. Berikut pro dan kontra seputar peraturan baru tersebu.

PPh Derivatif Sebabkan Investor Jauhi Bursa
Sunday, August 9, 2009 at 5:47pm
Penerapan pajak derivatif dinilai semakin memperlebar spread transaksi yang dilakukan di bursa berjangka dan menyebabkan investor makin menjauhi pasar kontrak berjangka di Indonesia. Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) Surdiyanto Suryodarmodjo mengatakan pengenaan pajak derivatif sebesar 2,5% terhadap transaksi di bursa berjangka akan menaikkan spread transaksi menjadi sekitar 10.

"Jika spread transaksi yang dilakukan sebesar spread 3 kalau itu ditambah pajak, spread bisa melebar menjadi 13. Ini akan membuat produk bursa berjangka di dalam negeri tidak laku, padahal pendapatan bursa berasal dari spread," katanya kepada Bisnis belum lama ini.

Spread perdagangan yang tinggi tersebut, sambungnya, akan mendorong nasabah di dalam negeri untukbertransaksi di bursa luar negeri. Kekhawatiran Dirut KBI itu merupakan kelanjutan keberatan pelaku pasar di industri perdagangan berjangka komoditas terhadap PP No. 17/2009 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas pendapatan dari Transaksi Derivatif.

Pelaku pasar di industri tersebut juga telah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk meninjau ulang penerapan PPh tersebut. Hingga kini otoritas fiskal dan pemain pasar masih melakukan negosiasi terhadap tarif pajak yang sebaiknya diterapkan di perdagangan derivatif itu.

Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI) Gregorius Teddy Gunawan menuturkan pemerintah sebaiknya memberikan jalan keluar yang adil terkait dengan polemik penerapan PPh terhadap penghasilan transaksi derivatif itu.

Tarif PPh sebesar 2,5% yang dikenakan pada margin awal dikhawatirkan akan membebani nasabah padasaat melakukan transaksi, sehingga perdagangan di bursa tersebut pun menciut.

Tuntutan perusahaan pialang agar Ditjen Pajak menurunkan tarif PPh derivatif itu ke posisi yang sama dengan yang dikenakan di bursa saham, yaitu 0,1% dan bersifat final, dijawab dengan penawaran penurunan menjadi 1,25% yang dibebankan baik kepada penjual maupun pembeli.

"Dengan pajak yang diperkecil, industri ini tidak akan mati bahkan akan semakin maju dan semakin besar. Pajak yang akan diterima pemerintah semakin besar," kata Teddy.

Beberapa waktu lalu Roy Sembel, Chief Research Officer Capita) Price salah satu perusahaan riset pasar modal, mendesak pemerintah agar melakukan sosialisasi terlebih dulu terhadap kebijakan perpajakan itu sebelum diterapkan. Selain itu, lanjutnya, kebijakan perpajakan tersebut sebaiknya tidak mematikan produk yang baru mapan dan berlaku final.



Sumber : Bisnis Indonesia

Senin, 09 November 2009

PAJAK ATAS OBLIGASI

Departemen Keuangan (Depkeu) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas RUU Pajak Penghasilan (PPh) baru yang akan berlaku awal 2008. Menariknya, Depkeu mengusulkan perubahan yang cukup drastis, yaitu memajaki bunga obligasi yang diterima reksadana sejak awal tahun pertama. Selama ini, reksadana terbebas dari pajak ini selama 5 tahun. ATURAN pajak penghasilan dari obligasi yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 139 Tahun 2000. Aturan ini lahir pada zaman Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur.
Menurut aturan yang lahir di era euforia demokrasi ini, ada dua jenis penghasilan yang menjadi obyek pajak. Yang pertama adalah bunga dan diskonto obligasi yang diperoleh oleh investor. Umumnya, penerbit obligasi membayarkan bunga atau kupon ini secara rutin. Ada yang setiap tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun.
Lantas, apakah diskonto itu?Di bursa, ada jenis obligasi yang bernama obligasi tanpa bunga (zero coupon bond). Sesuai dengan namanya, obligasi jenis ini tidak membayarkan bunga bagi investor. Tapi, pada saat penerbitan, obligasi ini dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga parinya. Misalnya, untuk membeli obligasi senilai Rp 100 miliar, investor hanya perlu membayar Rp 80 miliar. Artinya, obligasi tanpa bunga ini memberikan diskonto sebesar 20%. Diskonto inilah yang menjadi keuntungan bagi investor.
Berikutnya, kita tinggal melihat berapa lama jangka waktu obligasi itu akan jatuh tempo. Jika dua tahun, artinya investor menikmati diskonto 10% per tahun. Nah, penghasilan inilah yang terkena pajak.
Selain bunga dan diskonto, pemerintah juga memajaki keuntungan modal (capital gain) obligasi yang diperoleh investor. Ini adalah keuntungan yang diperoleh dari selisih harga beli dan harga jual obligasi. Dengan kata lain, capital gain adalah keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga obligasi.
Tarif pajak bunga dan diskonto obligasi yang berlaku untuk wajib pajak dalam negeri adalah 15% (dari bunga atau diskonto). Adapun untuk wajib pajak luar negeri, tarifnya 20%.
Adapun tarif pajak yang berlaku untuk capital gain obligasi adalah 0,03%. Tarif pajak ini dihitung dari setiap nilai transaksi.?
Reksadana yang berinvestasi di obligasi, baik itu reksadana pendapatan tetap maupun reksadana campuran, selama ini menikmati fasilitas istimewa dari pemerintah. Reksadana-reksadana itu terbebas dari pajak bunga obligasi sebesar 15%. Fasilitas inilah yang membuat reksadana campuran dan pendapatan tetap bisa memberikan keuntungan yang lumayan tinggi.
MENURUT Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 139 Tahun 2000, ada beberapa lembaga yang dikecualikan dari pajak bunga dan diskonto obligasi sebesar 15%. Lembaga-lembaga yang memperoleh keistimewaan itu adalah: bank wajib pajak dalam negeri dan cabang bank wajib pajak luar negeri, dana pensiun, dan reksadana yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Khusus untuk reksadana, fasilitas pembebasan pajak bunga dan diskonto obligasi itu hanya bisa dinikmati selama lima tahun pertama. Artinya, setelah ulang tahun kelima, suatu produk reksadana harus membayar pajak itu.
Fasilitas pembebas pajak inilah yang selama ini membuat reksadana pendapatan tetap dan campuran -- yang berinvestasi di obligasi -- mampu memberikan keuntungan atau return yang lumayan tinggi.
Yang menarik, para manajer investasi biasanya memiliki trik khusus untuk tetap mempertahankan fasilitas pembebasan pajak itu.
Menjelang ulangtahun kelima produk reksadana mereka, para manajer investasi akan menerbitkan reksadana baru yang skimnya sama persis dengan produk yang lama itu. Nah, begitu reksadana lama itu berumur lima tahun dan tidak bisa memperoleh fasilitas pajak lagi, para manajer investasi akan memindahkan duit investor -- tentu saja dengan seizin investor -- ke produk reksadana hasil "kloning" tadi.
Dengan cara seperti itu, seolah-olah para investor berinvestasi pada produk yang baru sehingga mereka tetap bisa menikmati fasilitas pembebasan pajak penghasilan bunga obligasi itu.
Nah, kini, pemerintah rupanya sudah tak ingin memberikan fasilitas pembebasan pajak itu kepada reksadana. Jika ini terjadi, daya tarik reksadana pendapatan tetap dan campuran jelas akan merosot. Sebab, keuntungan yang dihasilkan oleh kedua reksadana itu akan merosot. Investor harus mencermati rencana pemerintah ini.?